1. Angkatan 20-an Salah Asuhan
Hanafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau.
Sesungguhnya, ia termasuk orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di
Betawi sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ibunya yang sudah
janda, memang berusaha agar anaknya kelak menjadi orang pandai, melebihi sanak
keluarganya yang lain. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan menitipkan Hanafi
pada keluarga Belanda walaupun untuk pembiayaannya ia harus meminta bantuan
mamaknya, Sutan Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja
sebagai klerek di kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat
menjadi komis.
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda,
memungkinkan Hanafi berhubungan erat dengan Corrie Du Busse, gadis
Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat
istiadat negerinya. Sikap, pemikiran, dan cara hidupnya, juga sudah
kebaratbaratan.
Tidaklah heran jika hubungannya dengan Corrie,
ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah bukan lagi sebagai orang
“inlander”. Oleh karena itu, ketika Corrie datang ke Solok dalam rangka mengisi
liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. la dapat berjumpa kembali
dengan sahabat dekatnya. Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara . Sikap Corrie
terhadapnya juga dianggap sebagai “gayung bersambut kata berjawab”. Maka,
betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari Corrie. Corrie mengingatkan bahwa
perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk ukuran waktu itu, tetapi juga
akan mendatangkan berbagai masalah. “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat,
tak akan dapat ditimbuni jurang yang membatasi kedua bahagian itu” (hlm. 59).
Perasaan Corrie sendiri sebenarnya mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya
yang Indo-dan dengan sendirinya perilaku dan sikap hidupnya juga berpijak pada
kebudayaan Barat- serta Hanafi yang pribumi, yang tidak akan begitu saja dapat
melepaskan akar budaya leluhurnya.
Dalam surat
Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertalian hubungannya
itu (hlm. 61). Surat
itu membuat Hanafi patah semangat. la pun kemudian sakit. Ibunya berusaha
menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat kembali. Di saat itu pula ibunya
menyarankan agar Hanafi bersedia menikah dengan Rapiah, anak mamaknya, Sutan
Batuah. Ibunya menerangkan bahwa segala biaya selama dia bersekolah di Betawi,
tidak lain karena berkat uluran tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat
mengerti dan ia menerima Rapiah sebagai istrinya.
Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya
tak berjalan lempang. Hanafi tidak merasa bahagia, sungguhpun dari hasil
perkawinannya dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak lakilaki, Syafei.
Lagi pula, semua teman-temannya menjauhi dirinya. Dalam anggapan Hanafi,
penyebab semua itu tak lain adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi tempat
segala kemarahan Hanafi. Walaupun diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap
bersabar. Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang
diri di kebun. Ibunya menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali
kelakuan anaknya yang sudah lewat batas itu. Namun, Hanafi justru menanggapinya
dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor anjing gila menggigit
tangan Hanafi. Dokter segera memeriksa gigitan anjing gila pada tangan Hanafi.
Dokter menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat
menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu sekaligus
memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu kembali dengan Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalan lancar. Namun, kini
justru Corrie yang menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan
Hanafi mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara
diam-diani mereka melangsungkan pernikahan. Sementara itu, Rapiah yang resmi
dicerai lewat surat
yang dikirim Hanafi, tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu
Hanafi. Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai
menjauhi. Di satu pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak
menghargai bangsanya sendiri. Di lain pihak, ia menganggap Corrie telah
menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi
mempunyai status yang jelas; tidak ke Barat, tidak juga ke Timur. Inilah awal
malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai
bara api neraka dunia. Corrie yang semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya
yang pendiam. Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis.
Bahkan, Hanafi selalu diliputi perasaan syak wasangka dan curiga. Lebih-lebih
lagi, Corrie sering dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki
terlebih dahulu, Hanafi telah menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja,
Corrie tidak mau dituduh dan diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka,
dengan ketetapan hati, Corrie minta diceraikan. “Sekarang kita bercerai, buat
seumur hidup…. Bagiku tidak menjadi kepentingan, karena aku tidak sudi menjadi
istri lagi dan habis perkara”. Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan
berangkat ke Semarang .
la bekerja di sebuah panti asuhan.
Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari
bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah. la menyesal dan mencoba menyusul
Corrie. Namun, sia-sia. Corrie tetap pada pendiriannya.
Perasaan berdosa makin menambah beban penderitaan
Hanafi. Di tambah lagi, teman-temannya makin menjauhi. Hanafi dipandang sebagai
seorang suami yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan demikian,
barulah ia menyesal sejadi-jadinya. la juga ingat kepada ibu, istri, dan
anaknya di Solok. Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit.
Pada saat itu datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. la sadar dan menyesal. la kembali bermaksud minta maaf kepada
Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. la pergi ke Semarang . Namun rupanya, pertemuannya dengan
Corrie di Semarang merupakan pertemuan terakhir. Corrie terserang penyakit
kolera yang kronis. Sebelum mengembuskan napasnya, Corrie bersedia memaafkan
kesalahan Hanafi. Perasaan sesal dan berdosa tetap membuat Hanafi sangat
menderita. Batinnya goncang. la jatuh sakit kembali.
Setelah sembuh, Hanafi bermaksud pulang ke
kampungnya. La ingin minta maaf kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping
itu, ia juga ingin melihat keadaan anaknya sekarang. la berharap agar anaknya
kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat. Dengan kebulatan hatinya,
berangkatlah Hanafi kembali ke tanah kelahirannya.
Sumber: Salah Asuhan, 1990. Balai
Pustaka
2. Angkatan 30-an Mencari Pencuri Anak
Perawan
Sir Joon bertunangan dengan Nona. Pasangan itu
serasi, pemuda tampan ber-pasangan dengan gadis jelita. Bukan saja kedua orang
tua si gadisorang tua Sir Joon tak diketahui rimbanya-yang menyetujui
pertunangan itu, penduduk kampung juga merestui dan turut merasa senang kepada
pasangan itu. “Seorang manis, seorang cantik, apalagi? Orang-orang menanti saat
perkawinan.” (hlm. 6). Namun, tiba-tiba ayah si gadis, Pak Gadi, memutuskan
pertunangan itu. Orang-orang kampung terkejut mendengar keputusan itu.
Bahkan bertambah terkejut melihat Sir Joon yang terlihat seperti tak
terpengaruh oleh pertunangannya yang karam.
Penyebab Pak Gadi memutuskan pertunangan anak
gadisnya dengan Sir Joon adalah lamaran yang diajukan oleh Tairoo. Pemuda
kaya-raya keturunan Hindi itu mengajukan mas kawin uang sebesar 600 dolar,
suatu jumlah yang besar pada waktu itu. Pak Gadi merelakan anaknya demi
memperoleh uang itu dan tak mempedulikan apakah anaknya suka atau tidak kepada
pemuda Hindi itu. Sementara itu, nasib malang
yang menimpa Sir Joon tak berhenti sampai di situ. la tertimpa musibah ketika
bermain sepakbola dalam pertandingan persahabatan. Kakinya terkilir hingga ia
harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Namun, ia tenang-tenang saja dan
sabar menerima kenyataan itu, seperti pada waktu ia menerima kabar pemutusan
pertunangannya dengan Nona. Orang-orang kampung makin kagum melihat ketabahan
Sir Joon.
Ketika orang-orang kampung belum hilang rasa
terkejutnya, muncul peristiwa lain. Anak gadis Pak Gadi, Nona, hilang dari
rumahnya. Belum jelas penyebabnya, apakah ia melarikan diri atau dilarikan
orang. Pak Gadi cemas dan bingung. Demikian pula halnya Tairoo, calon menantu
Pak Gadi. Lalu, dengan terpincang-pincang Sir Joon menawarkan bantuan untuk
mencari Nona. Tak tampak sedikit pun perasaan dendam dan beci terlukis pada
wajahnya sehingga baik Pak Gadi maupun Tairoo dengan senang hati menerima
kebaikan Sir Joon. Apalagi mengingat pengalaman dan pandangan Sir Joon yang
lapang.
Akibat pengaruh Sir Joon, Pak Gadi mencurigai
Tairoo. Hal ini mengingat bahwa Nona tak mencintai Tairoo. Kemungkinan besar,
Tairoo tak ingin kehilangan gadis yang dicintainya itu. Lalu, Nona diculik
untuk dibujuk agar mencintai Tairoo. Begitulah teori yang diajukan Sir Joon
kepada Pak Gadi. Oleh karena itu, Pak Gadi harus memata-matai gerak-gerik calon
menantunya, usul Sir Joon. Tairoo pun tak luput dipengaruhi oleh Sir Joon. la
berteori bahwa penculikan itu tak lain akal bulus Pak Gadi. Tairoo sudah
memberikan uang yang jumlahnya besar kepada Pak Gadi. Bukan tak mungkin orang
tua itu menginginkan tambahan uang dari Tairoo, apalagi Pak Gadi dikenal mata
duitan. Tak urung Tairoo disarankan Sir Joon agar memata-matai tingkah laku Pak
Gadi, calon mertuanya.
Lalu, siapa yang melarikan Nona? Pak Gadi atau
Tairoo? Ataukah orang lain yang mendapat untung dari putusnya pertunangan Nona
dan Tairoo? Tak ada orang kampung yang berpikir demikian. Kalaupun ada yang
pernah berpikir bahwa yang beruntung akibat putusnya pertunangan Tairoo dan
Nona adalah Sir Joon; pendapat itu akan gugur melihat keadaan tubuh Sir
Joon. Mana mungkin orang yang berjalan dengan susah payah menggunakan tongkat, melarikan
seorang gadis. Apalagi kalau diingat Sir Joon adalah orang terpandang dan
berbudi baik.
Rupanya Pak Gadi dan Tairoo sangat terpengaruh
oleh pendapat Sir Joon. Calon mantu dan calon mertua itu saling curiga. Mereka
tak menyadari bahwa mereka telah termakan hasutan yang dilancarkan oleh Sir
Joon. Mereka tak merasa curiga pada Sir Joon. Hal ini ditambah dengan
kepandaian Sir Joon melakukan sandiwara dan mengatur strategi hingga mereka
sangat mempercayainya. Berkat kecerdikan Sir Joon, Tairoo memperoleh kembali
uangnya yang diberikan kepada Pak Gadi sebagai mahar. Dengan demikian, tak ada
lagi mas kawin yang mengikat pertunangan Tairoo dan Nona. Pertunangan itu sudah
batal. Sebaliknya, keuntungan yang diperoleh Sir Joon dari Pak Gadi adalah
surat keterangan yang menyatakan bahwa Sir Joon dan Nona menjadi suami-istri
ketika Sir Joon membujuk Pak Gadi agar Sir Joon dapat dengan mudah meminta
bantuan kepada orang kampung untuk mencari Nona.
Akhirnya, Sir Joon dapat memperistri Nona.
Perjodohan itu berhasil karena kecerdikannya memperdayakan Pak Gadi, Tairoo,
dan tentu saja orang-orang sekampungnya. la berpura-pura sakit kakinya, lalu
menculik dan menyembunyikan Nona di rumah seorang perempuan tua yang jarang
dikunjungi orang, di pinggir kampung. Kemudian, ia mendapat bantuan
teman-temannya dan terutama dari pembantunya yang setia, untuk mengatur
pelariannya. Hal yang tak kalah pentingnya adalah cinta Nona kepada Sir Joon
hingga pria itu dapat mengawininya. Sir Joon dan Nona hidup berbahagia di
Singapura, jauh dari kampung halamannya. “Suami-istri itu yaitu Sir Joon dan Si
Nona, diberi Allah telah sampai kepada ujud perkawinan, yaitu anak kesayangan”.
Sumber: Suman H.S., Balai Pustaka,
tahun 1961
No comments:
Post a Comment