Tuesday 14 August 2012

Fenomena Low Cost Carrier

Awal mula low cost carrier ini dirintis oleh Maskapai Southwest yang didirikan Rollin King, Lamar Muse dan Herber Kelleher pada 1967. Fenomena Southwest menjadi fenomena kajian bisnis penerbangan yang sangat menarik dibahas di universitas Harvard dan diberbagai sekolah bisnis diseluruh belahan dunia. Efisiensi yang dilakukan mencakup mulai dari harga (murah), teknologi, struktur biaya, rute hingga berbagai peralatan operasional yang digunakan.Istilah Penerbangan “low cost” atau sering disebut LCC (low cost carrier). LCC sering juga disebut sebagai Budget Airlines atau no frills flight atau juga Discounter Carrier. LCC merupakan model penerbangan yang unik dengan strategi penurunan operating cost. Dengan melakukan efisiensi cost di semua lini, maskapai melakukan hal-hal diluar kebiasaan maskapai pada umumnya, Kalau airlines pada umumnya melakukan penambahan layanan yang memiliki value added dengan penambahan catering, penyediaan newspaper atau magazine, in flight entertainment, in flight shop, lounge, free taxy after landing, exclusive frequent flier services, dan lain sebagainya. Berlawanan dengan hal itu, Low cost carrier melakukan eleminasi layanan maskapai tradisional yaitu dengan pengurangan catering, minimize reservasi dgn bantuan teknologi IT sehingga layanan nampak sederhana dan bisa cepat. Pelayanan yang minimize ini berakibat dalam hal penurunan cost, namun factor safety tetap dijaga untuk menjamin keselamatan penumpang sampai ke tujuan. LCC adalah redifinisi bisnis penerbangan yang menyediakan harga tiket yang terjangkau serta layanan terbang yang minimalis. Intinya produk yang ditawarkan senantiasa berprinsip low cost untuk menekan dan mereduksi operasional cost sehingga bisa menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas.
Keberhasilan Southwest kemudian banyak ditiru oleh maskapai lainnya seperti Vanguard, America West, Kiwi Air, Ryanair yang berdiri tahun 1990, Easyjet yang berdiri tahun 1995, Shuttle (anak Perusahaan United Airlines), MetroJet (anak perusahaan USAir) dan Delta Express (anak perusahaan Delta), Continental Lite (anak perusahaan Continental Airlines). Langkah Low cost carrier kemudian juga ditiru di Asia dengan munculnya Air Asia di tahun 2000 yang bermarkas di Malaysia, Virgin Blue di Australia, sedangkan di Indonesia kemudian berdiri Lion Air, dan Wings Air yang merupakan anak perusahaan Lion Air.
Umumnya, ciri-ciri maskapai tersebut menerapkan LCC antara lain ;
  1. Semua penumpangnya adalah kelas ekonomi, tidak ada penerbangan kelas premium atau bisnis.
  2. Kapasitas penumpangnya lebih banyak daripada kapasitas pesawat dengan layanan tradisional sehingga terlihat penumpang berdesak-desakkan. Hal ini untuk menaikkan revenue pesawat mengingat tarif yang sangat murah.
  3. Maskapai tersebut memiliki satu tipe pesawat untuk memudahkan training dan meminimize biaya maintenance dan penyediaan spare part cadangan. Biasanya pesawatnya baru/ umurnya masih muda sehingga hemat dalam konsumsi fuel (avtur).
  4. Maskapai menerapkan pola tarif yang sangat sederhana pada satu tarif atau tarif sub classis dengan harga mulai dari tarif diskon hingga mencapai 90%.
  5. Tidak memberikan layanan catering, di pesawat umumnya hanya disuguhkan air mineral.
  6. Kursi yang disediakan tidak melalui pemesanan, siapa penumpang yang masuk lebih dahulu dalam pesawat, dia yang pertama memilih kursi yang dia tempati.
  7. Penerbangan dilakukan di pagi buta atau malam hari untuk menghindari biaya yang mahal pada layanan bandara pada saat jam-jam sibuk.
  8. Rute yang diterbangi sangat sederhana biasanya point ke point untuk menghindari miss conection di tempat transit dan dampak delay dari akibat delay flight sebelumnya.
  9. Memberlakukan penanganan gound handling yang cepat dan pesawatnya mempunyai utilisasi jam terbang yang tinggi.
  10. Maskapai melakukan penjualan langsung (direct sales), biasanya via call center dan internet untuk meminize cost channel distribusi. LCC tidak dijual melalui travel agent, dan tidak menggunakan Channel Distribusi GDS (Global Distribution System) seperti Abacus,Galileo, dll.
  11. Penjualan tidak menggunakan tiket konvensional, cukup secarik kertas berupa kupon untuk mereduksi ongkos cetak tiket.
  12. Seringkali maskapai melakukan ekspansi promosi besar-besar untuk memperkuat positioning dan komunikasi karena menerapkan strategi direct sales.
  13. Karyawannya melakukan multi role dalam pekerjaannya, seringkali pilot dan pramugari juga sebagai cleaning services saat ground handling. Disamping itu LCC menerapkan outsourching dan karyawan kontrak terhadap SDM non vital, termasuk pekerjaan ground handling pesawat di bandara.
Di Indonesia belum ada yang menerapkan pola bisnis LCC yang sejati, karena operasional cost maskapai yang dianggap LCC di Indonesia  seperti Lion Air dan Wings Air masih diatas rata-rata maskapai LCC pada umumnya. Banyak analis keuangan masih menyatakan bahwa cost per available seat mil masih berada di atas ambang standard operating cost dari suatu Low Cost Carrier yang sejati, namun meskipun price structure-nya sendiri sudah sesuai dengan konsep LCC sehingga mungkin akan lebih tepat disebut dengan Low Far Carrier (LFC) karena hanya menawarkan harga murah tetapi belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip LCC  dimana struktur cost dan produktifitas maskapai masih tergolong mahal.
Adanya konsep LFC tentu sangat menguntungkan bagi calon konsumen, karena konsumen dihadapkan pada pilihan menggunakan transportasi udara yang berbiaya murah dan cepat. Seringkali harganya jauh lebih murah dari perjalanan darat dengan bus atau kereta api yang membutuhkan waktu lebih lama. Contoh saja perjalanan Bus dari Jakarta ke Denpasar selama 24 jam membutuhkan biaya sebesar Rp 350.000 sedangkan dengan pesawat, harga tiketnya ada yang menawarkan harga mulai dari Rp 269.000 dengan waktu tempuh 1,5 jam. Bahkan pada saat-saat tertentu Air Asia menawarkan kursi gratis ke Bali dengan membayar administrasi saja yang nilainya hanya Rp 199.000. Fenomena ini membuat “Make People Can Fly” sesuai slogan dari Lion Air yang menyadarkan kita bahwa sekarang ini semua orang bisa terbang dengan harga yang terjangkau dan tidak lagi seperti jaman dahulu di mana penggunaan transportasi udara hanya monopoli orang-orang dari kalangan menengah keatas.
Perkembangan bisnis penerbangan kedepannya masih menghadapi tantangan yang berat, mengingat harga fuel (avtur) yang terus meningkat yang merupakan komponen biaya yang paling besar dalam total operating cost di bisnis penerbangan disamping maintenance pesawat. Otomatis dengan biaya operasi yang makin meningkat, maskapai terpaksa harus menaikkan tarif. Oleh karena itu, strategi bisnis LCC yang sejati yang secara aggresif mampu melakukan penghematan terhadap konsumsi fuel akan sangat sesuai diterapkan di Indonesia mengingat calon-calon penumpang di Indonesia adalah sangat sensitive terhadap price, maka kecenderungannya penumpang akan memilih maskapai yang menawarkan harga murah, namun maskapai LCC tetap mendapatkan profit dari bisnisnya. Maka kedepannya, besar kemungkinannya hanya maskapai dengan pola LCC yang akan lebih mampu bertahan dibandingkan dengan maskapai dengan pola layanan tradisional yang lain.

0 comments:

Post a Comment